Sphinx Agung Giza adalah sebuah patung sfinks besar berbentuk separuh manusia, dan
separuh singa yang terdapat di Mesir, di Dataran Giza,
tepi barat Sungai Nil,
dekat Kairo sekarang. Ini adalah satu dari
beberapa patung terbesar di dunia yang terbuat dari satu batu utuh, dan
dipercaya telah dibangun oleh Mesir Kuno pada milenium ketiga SM. Nama yang digunakan bagi masyarakat Mesir Kuno untuk menyebut patung ini
sama sekali tidak diketahui. Nama "sfinks"
yang biasa digunakan diambil dari nama makhluk mitologi
Yunani dengan tubuh
seekor singa, kepala seorang
wanita, dan sayap seekor elang, walaupun patung sfinks Mesir memiliki kepala
laki-laki. Kata "sfinks" berasal dari bahasa Yunani yang berarti mencekik, karena sfinks dari mitologi Yunani mencekik orang yang
tidak dapat menjawab pertanyaan teka-tekinya. Bagi beberapa orang, dipercayai
bahwa nama ini merupakan perubahan kata dari bahasa Mesir kunoShesep-ankh, sebuah
nama yang diberikan kepada patung bangsawan pada Dinasti Keempat. Pada tulisan-tulisan abad
pertengahan, nama balhib dan bilhaw yang menunjuk pada Sphinx
dipergunakan, termasuk oleh sejarawan Mesir Maqrizi, yang menyarankan
penyusunan bahasa Koptik,
tapi istilah Arab-Mesir Abul-Hôl,
yang diartikan sebagai "Bapak Teror," lebih banyak digunakan.walaupun
diartikan "Bapak Teror", sphinx merupakan salah satu kebudayaan
modern dimasanya, dan merupakan kawasan wisata yang diminati.
SEJARAH
Sejak
abad ke-6 SM, Mesir merupakan tempat pelarian kerajaan Poshi, yang kehilangan
kedudukannya setelah berdiri lebih dari 2.000 tahun, menerima kekuasaan yang
berasal dari luar yaitu kerajaan Yunani, Roma, kerajaan Islam serta kekuasaan
bangsa lain. Semasa itu sejumlah besar karya terkenal zaman Firaun dihancurkan,
aksara dan kepercayaan agama bangsa Mesir sendiri secara berangsur-angsur
digantikan oleh budaya lain, sehingga kebudayaan Mesir kuno menjadi surut dan
hancur, generasi belakangan juga kehilangan sejumlah besar peninggalan yang
dapat menguraikan petunjuk yang ditinggalkan oleh para pendahulu.Tahun
450 SM, setelah seorang sejarawan Yunani berkeliling dan tiba di Mesir,
membubuhkan tulisan: Cheops, (aksara Yunani Khufu), konon katanya, hancur setelah
50 tahun. Dalam batas tertentu sejarawan Yunani tersebut menggunakan kalimat
“konon katanya”, maksudnya bahwa kebenarannya perlu dibuktikan lagi. Namun,
sejak itu pendapat sejarawan Yunani tersebut malah menjadi kutipan generasi
belakangan sebagai bukti penting bahwa piramida didirikan pada dinasti kerajaan
ke-4.Selama
ini, para sejarawan menganggap bahwa piramida adalah makam raja. Dengan
demikian, begitu membicarakan piramida, yang terbayang dalam benak secara tanpa
disadari adalah perhiasan dan barang-barang yang gemerlap.
Dan, pada tahun 820
M, ketika gubernur jenderal Islam Kairo yaitu Khalifah Al-Ma’mun memimpin
pasukan, pertama kali menggali jalan rahasia dan masuk ke piramida, dan ketika
dengan tidak sabar masuk ke ruangan, pemandangan yang terlihat malah membuatnya
sangat kecewa. Bukan saja tidak ada satu pun benda yang biasanya dikubur
bersama mayat, seperti mutiara, maupun ukiran, bahkan sekeping serpihan pecah
belah pun tidak ada, yang ada hanya sebuah peti batu kosong yang tidak ada
penutupnya. Sedangkan tembok pun hanya bidang yang bersih kosong, juga tak ada
sedikit pun ukiran tulisan.Kesimpulan
para sejarawan terhadap prestasi pertama kali memasuki piramida ini adalah
“mengalami perampokan benda-benda dalam makam”. Namun, hasil penyelidikan nyata
menunjukkan, kemungkinan pencuri makam masuk ke piramida melalui jalan lainnya
adalah sangat kecil sekali. Di bawah kondisi biasa, pencuri makam juga tidak
mungkin dapat mencuri tanpa meninggalkan jejak sedikit pun, dan lebih tidak
mungkin lagi menghapus seluruh prasasti Firaun yang dilukiskan di atas tembok.
Dibanding dengan makam-makam lain yang umumnya dipenuhi perhiasan-perhiasan dan
harta karun yang berlimpah ruah, piramida raksasa yang dibangun untuk
memperingati keagungan raja Firaun menjadi sangat berbeda.Selain
itu, dalam catatan “Inventory Stela” yang disimpan di dalam museum Kairo, pernah
disinggung bahwa piramida telah ada sejak awal sebelum Khufu meneruskan takhta
kerajaan. Namun, oleh karena catatan pada batu prasasti tersebut secara keras
menantang pandangan tradisional, terdapat masalah antara hasil penelitian para
ahli dan cara penulisan pada buku, selanjutnya secara keras mengecam nilai
penelitiannya. Sebenarnya dalam keterbatasan catatan sejarah yang bisa
diperoleh, jika karena pandangan tertentu lalu mengesampingkan sebagian bukti
sejarah, tanpa disadari telah menghambat kita secara obyektif dalam memandang
kedudukan sejarah yang sebenarnya.
Sphinx,
singa bermuka manusia yang juga merupakan obyek penting dalam penelitian
ilmuwan, tingginya 20 meter, panjang keseluruhan 73 meter, dianggap didirikan
oleh kerjaan Firaun ke-4 yaitu Khafre. Namun, melalui bekas yang dimakan karat
(erosi) pada permukaan badan Sphinx, ilmuwan memperkirakan bahwa masa
pembuatannya mungkin lebih awal, paling tidak 10 ribu tahun silam sebelum
Masehi.
TEKNIK BANGUNAN
Di
Mesir, terdapat begitu banyak piramida berbagai macam ukuran, standarnya bukan
saja jauh lebih kecil, strukturnya pun kasar. Di antaranya piramida yang
didirikan pada masa kerajaan ke-5 dan 6, banyak yang sudah rusak dan hancur,
menjadi timbunan puing, seperti misalnya piramida Raja Menkaure seperti pada
gambar. Kemudian, piramida besar yang dibangun pada masa yang lebih awal, dalam
sebuah gempa bumi dahsyat pada abad ke-13, di mana sebagian batu ditembok
sebelah luar telah hancur, namun karena bagian dalam ditunjang oleh tembok
penyangga, sehingga seluruh strukturnya tetap sangat kuat. Karenanya, ketika
membangun piramida raksasa, bukan hanya secara sederhana menyusun 3 juta batu
menjadi bentuk kerucut, jika terdapat kekurangan pada rancangan konstruksi yang
khusus ini, sebagian saja yang rusak, maka bisa mengakibatkan seluruhnya ambruk
karena beratnya beban yang ditopang.
Lagi
pula, bagaimanakah proyek bangunan piramida raksasa itu dikerjakan, tetap
merupakan topik yang membuat pusing para sarjana. Selain mempertimbangkan
sejumlah besar batu dan tenaga yang diperlukan, faktor terpenting adalah titik
puncak piramida harus berada di bidang dasar tepat di titik tengah 4 sudut
atas. Karena jika ke-4 sudutnya miring dan sedikit menyimpang, maka ketika
menutup titik puncak tidak mungkin menyatu di satu titik, berarti proyek
bangunan ini dinyatakan gagal. Karenanya, merupakan suatu poin yang amat
penting, bagaimanakah meletakkan sejumlah 2,3 juta -2,6 juta buah batu besar
yang setiap batunya berbobot 2,5 ton dari permukaan tanah hingga setinggi lebih
dari seratus meter di angkasa dan dipasang dari awal sampai akhir pada posisi
yang tepat.
Seperti
yang dikatakan oleh pengarang Graham Hancock dalam karangannya “Sidik Jari
Tuhan”: Di tempat yang terhuyung-huyung ini, di satu sisi harus menjaga
keseimbangan tubuh, dan sisi lainnya harus memindahkan satu demi satu batu yang
paling tidak beratnya 2 kali lipat mobil kecil ke atas, diangkut ke tempat yang
tepat, dan mengarah tepat pada tempatnya, entah apa yang ada dalam pikiran
pekerja-pekerja pengangkut batu tersebut. Meskipun ilmu pengetahuan modern
telah memperkirakan berbagai macam cara dan tenaga yang memungkinkan untuk
membangun, namun jika dipertimbangkan lagi kondisi riilnya, akan kita temukan
bahwa orang-orang tersebut tentunya memiliki kemampuan atau kekuatan fisik yang
melebihi manusia biasa, baru bisa menyelesaikan proyek raksasa tersebut serta
memastikan keakuratan maupun ketepatan presisinya.
Terhadap
hal ini, Jean Francois Champollion yang mendapat sebutan sebagai “Bapak
Pengetahuan Mesir Kuno Modern” memperkirakan bahwa orang yang mendirikan
piramida berbeda dengan manusia sekarang, paling tidak dalam “pemikiran mereka
mempunyai tinggi tubuh 100 kaki yang tingginya sama seperti manusia raksasa”.
Ia berpendapat, dilihat dari sisi pembuatan piramida, itu adalah hasil karya
manusia raksasa.
Senada
dengan itu, Master Li Hongzhi dalam ceramahnya pada keliling Amerika Utara
tahun 2002 juga pernah menyinggung kemungkinan itu. “Manusia tidak dapat
memahami bagaimana piramida dibuat. Batu yang begitu besar bagaimana manusia
mengangkutnya? Beberapa orang manusia raksasa yang tingginya lima meter
mengangkut sesuatu, itu dengan manusia sekarang memindahkan sebuah batu besar
adalah sama. Untuk membangun piramida itu, manusia setinggi lima meter sama
seperti kita sekarang membangun sebuah gedung besar.”
Pemikiran
demikian mau tidak mau membuat kita membayangkan, bahwa piramida raksasa dan
sejumlah besar bangunan batu raksasa kuno yang ditemukan di berbagai penjuru
dunia telah mendatangkan keraguan yang sama kepada semua orang: tinggi besar
dan megah, terbentuk dengan menggunakan susunan batu yang sangat besar, bahkan
penyusunannya sangat sempurna. Seperti misalnya, di pinggiran kota utara Mexico
ada Kastil Sacsahuaman yang disusun dengan batu raksasa yang beratnya melebihi
100 ton lebih, di antaranya ada sebuah batu raksasa yang tingginya mencapai 28
kaki, diperkirakan beratnya mencapai 360 ton (setara dengan 500 buah mobil
keluarga). Dan di dataran barat daya Inggris terdapat formasi batu raksasa,
dikelilingi puluhan batu raksasa dan membentuk sebuah bundaran besar, di antara
beberapa batu tingginya mencapai 6 meter. Sebenarnya, sekelompok manusia yang
bagaimanakah mereka itu? Mengapa selalu menggunakan batu raksasa, dan tidak
menggunakan batu yang ukurannya dalam jangkauan kemampuan kita untuk membangun?
Seorang
sarjana John Washeth juga berpendapat: Bahwa Piramida raksasa dan tetangga
dekatnya yaitu Sphinx dengan bangunan masa kerajaan ke-4 lainnya sama sekali
berbeda, ia dibangun pada masa yang lebih purbakala dibanding masa kerajaan
ke-4. Dalam bukunya “Ular Angkasa”, John Washeth mengemukakan: perkembangan
budaya Mesir mungkin bukan berasal dari daerah aliran sungai Nil, melainkan
berasal dari budaya yang lebih awal dan hebat yang lebih kuno ribuan tahun
dibanding Mesir kuno, warisan budaya yang diwariskan yang tidak diketahui oleh
kita. Ini, selain alasan secara teknologi bangunan yang diuraikan sebelumnya,
dan yang ditemukan di atas yaitu patung Sphinx sangat parah dimakan karat juga
telah membuktikan hal ini.
Ahli
ilmu pasti Swalle Rubich dalam “Ilmu Pengetahuan Kudus” menunjukkan: pada tahun
11.000 SM, Mesir pasti telah mempunyai sebuah budaya yang hebat. Pada saat itu
Sphinx telah ada, sebab bagian badan singa bermuka manusia itu, selain kepala,
jelas sekali ada bekas erosi. Perkiraannya adalah pada sebuah banjir dahsyat
tahun 11.000 SM dan hujan lebat yang silih berganti lalu mengakibatkan bekas
erosi.
Perkiraan
erosi lainnya pada Sphinx adalah air hujan dan angin. Washeth mengesampingkan
dari kemungkinan air hujan, sebab selama 9.000 tahun di masa lalu dataran
tinggi Jazirah, air hujan selalu tidak mencukupi, dan harus melacak kembali
hingga tahun 10000 SM baru ada cuaca buruk yang demikian. Washeth juga
mengesampingkan kemungkinan tererosi oleh angin, karena bangunan batu kapur
lainnya pada masa kerajaan ke-4 malah tidak mengalami erosi yang sama. Tulisan
berbentuk gajah dan prasasti yang ditinggalkan masa kerajaan kuno tidak ada
sepotong batu pun yang mengalami erosi yang parah seperti yang terjadi pada
Sphinx.
Profesor
Universitas Boston, dan ahli dari segi batuan erosi Robert S. juga setuju
dengan pandangan Washeth sekaligus menujukkan: Bahwa erosi yang dialami Sphinx,
ada beberapa bagian yang kedalamannya mencapai 2 meter lebih, sehingga
berliku-liku jika dipandang dari sudut luar, bagaikan gelombang, jelas sekali
merupakan bekas setelah mengalami tiupan dan terpaan angin yang hebat selama
ribuan tahun.
Washeth
dan Robert S. juga menunjukkan: Teknologi bangsa Mesir kuno tidak mungkin dapat
mengukir skala yang sedemikian besar di atas sebuah batu raksasa, produk seni
yang tekniknya rumit.
Jika
diamati secara keseluruhan, kita bisa menyimpulkan secara logis, bahwa pada
masa purbakala, di atas tanah Mesir, pernah ada sebuah budaya yang sangat maju,
namun karena adanya pergeseran lempengan bumi, daratan batu tenggelam di
lautan, dan budaya yang sangat purba pada waktu itu akhirnya disingkirkan,
meninggalkan piramida dan Sphinx dengan menggunakan teknologi bangunan yang
sempurna.
Dalam
jangka waktu yang panjang di dasar lautan, piramida raksasa dan Sphinx
mengalami rendaman air dan pengikisan dalam waktu yang panjang, adalah penyebab
langsung yang mengakibatkan erosi yang parah terhadap Sphinx. Karena bahan
bangunan piramida raksasa Jazirah adalah hasil teknologi manusia yang tidak
diketahui orang sekarang, kemampuan erosi tahan airnya jauh melampaui batu
alam, sedangkan Sphinx terukir dengan keseluruhan batu alam, mungkin ini
penyebab yang nyata piramida raksasa dikikis oleh air laut yang tidak tampak
dari permukaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar